cerpen (Realita Cinta)
Realita Cinta
|
|
Love Story
|
Ujian
praktek bahasa indonesia
smk
mA’arif walisongo kajoran
|
Dwiyana Wijayanti_ XII Multimedia
|
REALITA CINTA
Maha Suci Allah yang telah memberikan rasa ke setiap
manusia. Rasa cinta dan kasih sayang yang merajut dalam batin setiap
makhluknya. Pertemuan singkat antara aku yang biasa dipanggil Dian, dengan
seseorang yang membuatku merasakan rasa yang berbeda. Dia adalah seorang laki –
laki bertubuh tidak terlalu tinggi, sekitar 167 cm, berambut lurus, berwarna
kulit sawo matang, dan satu lagi, senyum indah yang selalu menghiasi
ketampanannya. Senyumnya yang selalu membuatku bahagia. Sebut saja Anjar.
Disitulah kisah cinta dua insan dimulai.
Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya, saat itu aku
bertemu dengan teman aku di Taman Kota, saat ada bazar buku, namanya Ivan, dan
Ivan ngenalin aku dengan temen – temennya. “Eh, Dian, ni kenalin temen – temen
aku, ini Yuda, ini Ihsan, ini Devi, ini
Mela, ini David, Rafi, Mely, dan ini yang paling kece, Anjar namanya”, ucap
Ivan. “Oh ya, hai, aku Dian”. Akupun berbincang – bincang dengan mereka,
awalnya masih cuek dengan Anjar. Disitu aku nggak sendiri, aku dengan tiga
temenku, Vina, Ratna, dan Ian. Ratna memang sudah tertarik dengan Anjar, dan
aku masih biasa aja, tapi lama – lama aku merasa sangat nyaman dengan dia saat
dia terus menggoda dan selalu ngajak ngobrol aku.
Saat itu pula, benih – benih cinta antara aku dan Anjar
muncul. “Dian, kamu ini anak mana sih, kelas berapa” tanya Anjar. “Aku anak
Magelang, kelas XII SMK, lha kamu sendiri gimana?”, balas aku. “Gimana apanya?
Aku nggak gimana – gimana kok, aku baik – baik aja, ni buktinya ada di depan
kamu, hehe.” Jawab Anjar. “ Ih kamu tuu, kepedean banget sih, hehe, maksud aku
kamu anak mana, kelas berapa?” tanya Aku. “Oh itu, hehe, sorry – sorry just kid, Aku
anak Jogja, kelas XI, emm. Kamu kelahiran 97 atau 98 yaa?” tanya Anjar. “Dih
sok tau, aku 99”, jawab Aku. “Lah kok samaan, kita nggak jauh – jauh amat yak?
Hehe”, saut Anjar. “Maybe”, jawab aku. Aku dan Anjar pun lama – lama semakin
akrab, disitu kita juga keliling – keliling taman dengan delman bareng, makan
bareng. dan aku menemukan sensasi yang berbeda. Anjar selalu mengajakku duduk
di sebelahnya. Tak terasa hari pun menjelang malam, aku sholat dan bersiap –
siap untuk pulang. Yaa, seperti yang aku rasakan, aku mencari Anjar usai sholat
maghrib. Dan aku terkejut saat Anjar tergeletak lemas di teras Masjid. “Kamu
kenapa?” tanya aku khawatir. “Nggak papa, aku cuman pusing sedikit”, jawab
Anjar lemas. “Ya udah kamu tiduran aja yaa, istirahat” sambil menyelimuti
Anjar. Hari pun semakin malam, saat aku mau pulang, teman – teman baru aku
mengajak aku makan dan tiga teman aku makan malam bersama. Betapa bahagianya
aku saat aku sudah melihat Anjar bangkit dan ikut berkumpul kembali dengan
kita.
Aku pamit untuk pulang karna hari sudah berlarut malam.
Rasa senang dan bahagia hari itu selalu teringat di tiap – tiap waktuku. “Aduh
Dian, kamu apa – apaan, kamu nggak boleh seperti ini. Stop!! Berhenti Dian,
berhenti untuk mikirin Anjar, inget temen kamu Ratna suka sama Anjar”, batin
aku. Dan betapa terkejutnya aku saat Anjar di rumah aku sore harinya. Aku
senang banget, kita menjalin komunikasi terus dan hampir tak putus. Hingga tak
terasa satu minggu sudah kita bersama dan saling bertemu.
Pada hari Sabtu, Anjar mengajak aku untuk pergi jalan –
jalan. Kita jalan – jalan di suatu tempat yang indah banget dan akan menjadi
saksi bisu cerita kita berdua. “Kamu makan yang banyak biar cepet gede” hehe,
usil Anjar. “Ihh resek banget sih kamu, mandi sono biar cakep”, saut aku. “Udah
emang jelek dari sononya yaa”, jawab Anjar. “Aduh enggak kok enggak, kamu kasep
tauuk”, ucap aku. “Kasep mah kadaluarsa
neng”, jawab Anjar. “ Ih kasep tu dalam bahasa Sunda cakep, ganteng atuh bang,”
jawab aku. “lhaa, kok malah jadi abang enengan gini, kalo panggilan sayang kita
kaya gini asik kali yak?” ucap Anjar. “Waduh betawi punya tu bang”, jawab aku.
“Hehe, nggak papa lagi neng, punyanya jawa udah kepake ma orang jawa. Emmm,
neng aku mau bilang sesuatu nih”, ucap Anjar. “Apaan tu bang?”, tanya aku.
“Mungkin ini hari terakhir kita bertemu, karna aku harus balik ke Jogja, dan
aku nggak tau kapan kita akan bertemu kembali, aku tau kalo Joga – Magelang itu
nggak terlalu jauh, tapi kita juga harus sadar kalau kita masih sekolah dan
nggak bisa seenaknya maen – maen. Aku sayang kamu, aku yakin suatu hari nanti
kita akan dipertemukan kembali oleh Allah dengan cara yang sangat indah”, ucap
Anjar. Saat itu hati aku terisak sedih saat aku tau kalau itu hari terakhir
kita bertemu. Rasanya aku ingin peluk dan bilang “Jangan pergi” tapi tiu tidak mungkin terjadi. “Baiklah jika
memang itu harus terjadi, tapi aku minta satu permintaan bang”, bilang aku.
“Apa itu neng?” tanya Anjar. “Aku ingin kita bertemu di tempat dan tanggal yang
sama di mana kita pertama kali dipertemukan. Ambil cincin ini. Semoga dengan
cincin ini kamu akan terus mengingat aku, cerita yang pernah kita lalui, dan
bisa mempertemukan kembali” pinta aku. “Jaga hati jaga mata neng,” ucap Anjar.
“Pasti bang”, jawab aku.
Saat itu kita berpisah dan berkomitmen untuk saling jaga
hati dan perasaan. Berbulan - bulan tak kunjung ada kabar darinya, dan hatiku
serasa teriris ketika Ratna berkomunikasi dengan Anjar. Aku hanya bisa
tersenyum saat raut wajah Ratna bersinar bahagia. Namun hal itu tak terjadi
lama setelah aku membuka salah satu akun media sosialku dan melihat status
Anjar untuuku, yang secarapribadi Anjar tidak pernah membuat status apalagi
untuk seorang perempuan. Saat itu aku menemukan titik terang. Mungkin aku yang
terlalu kegirangan dan langsung bersikap senang dengan Anjar, yang malah
membuatku semakin jauh dan entah kabarnya.
Setelah beberapa bulan aku mulai jenuh dengan ini semua,
tanpa kabar, tanpa pesan dan tidak pernah bertemu. Saat aku merasakan kejenuhan
aku bertemu seseorang yang mirip dengan Anjar, namanya Faza. Ia mirip sekali
dengan Anjar, awalnya aku bertanya salahkah aku jika aku mulai merasa nyaman
dengan Faza, yang sedangkan Anjar tidak tau apa dan dimana kabarnya. Akupun
semakin dekat dengan Faza, terlebih teman Anjar yang bernama Rafi juga
menyimpan perasaan denganku, aku memang sengaja menutupi hubunganku dengan
Anjar sampai waktu yang benar – benar tepat. Kedekatanku dengan Faza semakin
dalam dan serius, namun hal itu terselamatkan saat Faza tiba – tiba menghilang
dan tak pernah ada kabar pula seperti Anjar setelah beberapa bulan silam kita
bersama. Dan aku merasakan hal yang sama. Kehilangan.
Sekarang
Rafi yang menaruh perhatian khusus kepadaku, aku mungkin sudah tidak memperdulikan
Anjar yang tak pernah ada waktu bahkan kabar. Dan aku yang hampir putus asa
mencari kabar Anjar, setiap hari aku selalu memikirkan dia, sedangkan temannya sendiri
memberikan waktu penuh kepadaku. Aku tidak bisa munafik untuk menolak itu semua
saat aku memang jenuh dengan kesepianku. Seiring berjalannya waktu, aku dan
Rafi menjalin hubungan khusus.
Di suatu acara besar pelajar se Jawa Tengah aku bertemu
dengan orang yang tidak aku kenal, dan dia sok asik dan terus mengajak aku
berkenalan namun aku menjawabnya dengan cuek. Disaat itulah aku juga bertemu
dengan Ivan, aku bertanya – tanya tentang Anjar kepadanya, Ivan mungkin sudah
mulai bosan dengan pertanyaanku, dan orang yang aku tak kenal pun ikut dalam
pembicaraanku. “Anjar? Anjar anak SMK 4 Kota Jogja? Yang pake motor merah?”
srobot orang itu. “Lhoh kok kamu tau, kamu anak Kusuma Negara juga?” saut aku.
“Dia mah keponakan aku, rumahnya depan belakang sama aku, tiap hari ketemu
lagi. Pentesan aku nggak asing lihat wajah kamu”; jawab dia. “Nggak asing
gimana?” tanya aku. “Anjar sering kasih lihat foto kamu ke aku, dia sayang sama
kamu, dia selalu ingat kamu, dia nggak kasih kabar ke kamu bukan berarti dia
lupa, tapi memang disengaja”jawab orang itu. Tanpa sempat aku bicara banyak
orang itu, ia pergi meninggalkan tempatnya, dan tak terasa mataku meneteskan
air mata. Aku yang bodoh, aku berburuk sangka sama komitmen aku sendiri. Aku
segera memutuskan hubungan aku dengan Rafi karna aku tau itu salah.
Sampai akhirnya waktu itu tiba, dan aku kembali dipertemukan
dengan Anjar sesuai kesepakatanku beberapa tahun silam. “Mungkin jarak memang
memisahkan kita, tapi aku tau suatu hari nanti kita akan bertemu saat aku sudah
siap, jarak adalah ujian kita, dan kita berhasil melewatinya neng, tanpa kabar,
tanpa bertemu, kita masih bisa bersatu dan kamu masih ingat aku, aku sengaja
melakukan ini semua karna aku ingin membuat hadiah terindah di hidup kita,
dimana kita akan bertemu kembali setelah sekian lama berpisah, dan waktu itupun
tiba, hari ini, langit dan bumi menjadi saksi kita berdua, Allah yang
mempertemukan kita, Ia pula yang memisahkan kita, sampai Allah mempertemukan
kita kembali setelah aku siap, siap menjadi imam buat hidup kamu, aku ingin
kamu menjadi teman, teman seumur hidup aku.” Ucap Anjar. Tanpa bisa berkata –
kata aku meneteskan air mata penyesalan telah menodai cinta suci kita, dan haru
dengan kejutan yang Anjar persiapkan untuk meminang aku dengan sangat sempurna.
Aku hanya bisa tersenyum dan menerima pinangan Anjar dengan sangat bahagia. Hari
itu mimpi – mipmi aku terwujud, saat aku merasakan puncak bahagia dengan orang
yang aku sayang.
Adalah kehendaknya yang mempertemukan kita, peraturannya
yang memisahkan kita. Rahmatnya yang mempersatukan kita. Kisah kita bukan
berawal dari facebook dan berakhir di dinginnya kursi pengadilan. Kisah kita
berawal dengan murni, sempat kita hampir mengotorinya. Tapi sekali lagi, Dia
melindungi kita dengan noda dalam cinta. Ini bukan akhir perjalanan. ini awal
dari kisah luar biasa, sebuah kisah yang membuat iri para manusia. Akan dimulai
kisah baru pada kami berdua pengantar untuk menaiki bahtera. Ini kisah kami.
kisah dua insan yang saling mencinta berlindung dari godaan berbisik dusta,
dengan mempercayakan diri pada Sang Kuasa.
Dwiyana
Wijayanti
Komentar
Posting Komentar